Pulau Madura
|
Madura
مدورا
|
|
|
Geografi
|
|
|
Lokasi
|
|
|
Koordinat
|
|
|
Kepulauan
|
|
|
Jumlah pulau
|
127 Pulau
|
|
Pulau besar
|
|
|
Luas
|
5,168 km²
|
|
Puncak tertinggi
|
Bukit Geger,
Bukit Payudan |
|
Negara
|
|
|
Indonesia
|
|
|
Provinsi
|
|
|
Demografi
|
|
|
Populasi
|
3.625.000 (per 2010)
|
|
Kepadatan
|
829/km²
|
|
Kelompok etnik
|
|
Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk hampir 4 juta jiwa.
Pulau Madura
didiami oleh suku Madura yang
merupakan salah satu etnis suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya
sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau
sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang
Madura banyak tinggal di bagian timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal
Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di
Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling
banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara ,serta
sebagian Malang .
Suku Madura
terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang
temperamental, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja.
Orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang
melakukan ritual Petik Laut atau Rokat Tase' (sama dengan larung
sesaji). Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka
memiliki sebuah peribahasa dalam bahasa Madura : angok pote tolang,
atembheng pote matah. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu
(putih mata). Sifat yang seperti inilah yang melahirkan tradisi carok
pada sebagian masyarakat Madura.
Babad Madura
Dari
sumber-sumber babad tanah Madura dikisahkan bahwa Pulau Madura pada zaman
dahulu oleh para pengarung lautan hanya terlihat sebagai puncak-puncak tanah
yang tinggi (sekarang menjadi bukit-bukit, dan beberapa dataran yang ketika air
laut surut dataran tersebut terlihat, sedangkan apabila laut pasang dataran
tersebut tidak tampak ( di bawah permukaan air ). Puncak-puncak yang terlihat
tersebut diantaranya sekarang disebut Gunung Geger di Kabupaten Bangkalan
dan Gunung Pajudan di kabupaten Sumenep.
Sejarah tanah Madura tidak terlepas dengan sejarah atau kejadian yang terjadi
di tanah Jawa. Diceritakan bahwa pada suatu masa di pulau Jawa berdiri suatu
kerajaan bernama Medang kamulan. Di
dalam kotanya ada sebuak keraton yang bernama keraton Giling wesi, rajanya
bernama Sang Hyang Tunggal
( Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas. Ibukotanya bernama Watan Mas).
Kala itu
sekitar tahun 929 Masehi. Pendapat lain menyatakan bahwa kerajaan tersebut
adalah kerajaan “Medang “ bukan “ Medang kamulan” mana yang benar tentu,
memerlukan pembuktian secara ilmiah. Peristiwa ini terjadi tatkala baru terjadi
letusan gunung berapi di tempat tersebut jadi sekitar tahun 929 M.
Dikisahkan
bahwa sang raja memiliki seorang anak gadis bernama Puteri Bendoro Gung
(Puteri Bendoro Agung). Suatu ketika gadis tersebut bermimpi kemasukan
rembulan ke dalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian ternyata gadis tersebut
hamil. Sang raja (ayahandanya) selalu menanyakan siapa yang menghamilinya,
namun gadis tersebut tidak menjawab. Akhirnya raja menjadi marah dan memanggil
patihnya yang bernama Pranggulang. Raja memerintahkan supaya anak
gadisnya dibunuh dan kepalanya disuruh dibawa kembali kepada raja. Apabila
patih tidah dapat menunjukkan kepala tersebut ia tidak boleh kembali ke
kerajaan dan jabatannya sebagai patih diberhentikan. Patih menyanggupi perintah
raja dan membawa gadis tersebut ke sebuah hutan.
Kyai Poleng Sesampainya di hutan patih Pranggulang menghunus pedang dan bermaksud memenggal kepala si gadis, namun suatu keanehan terjadi, yaitu ketika sang pedang mendekati leher si gadis pedang tersebut terjatuh dari tangan sang patih. Sang pating mengulanginya lagi untuk memenggal leher si gadis namun lagi-lagi terjadi seperti hal sebelunya, yaitu pedang terlepas dari tangan sang patih dan jatuh ke tanah. Sang patih masih berusaha mengulanginya sampai tiga kali, namun pada kali yang ketiga karena masih terjadi terjadi hal yang sama dengan dengan kejadian sebelunnya Sang Patih akhirnya duduk termenung dan berfikiran bahwa kehamilan sang gadis tentulah bukan karena kesalahan si gadis, tetapi disebabkan oleh hal yang luar biasa. Akhirnya sang patih mengalah untuk tidak kembali ke kerajaan, dan mulai saat itu sang patih berganti nama menjadi ” kyai Poleng ”, (poleng artinya kain tenunan Madura). Iapun merubah pakaiannya yaitu memakai kain, baju, dan ikat kepala dari kain poleng. Selanjutnya ia memotong kayu-kayu di hutan dan dibawa ke pantai dirakit menjadi ghitek ( jawa=getek).
Sang gadis oleh
kyai Poleng didudukkan di atas ghitek di tepi pantai dan Kyai Poleng menendang
ghitek tersebut menuju madu oro’ ( pojok di ara-ara artinya pojok menuju ke
arah yang luas). Hal inilah yang menurut sebagian pendapat menjadi asul-usul
nama ” Madura ”. Pendapat lain mengatakan bahwa nama Madura berasal dari kata ”
Lemah Dhuro” artinya tanah yang tidak sesungguhnya, yaitu apabila air laut
surut tanahnya terlihat, tetapi bila air pasang tanahnya tidak terlihat.
Alkisah bahwa
ghitek tersebut terdampar di suatu tempat yang saat ini tempat tersebut disebut
Gunung Geger (Di sinilah asalnya tanah Madura). Sebelum sang gadis
diberangkatkan kyai Poleng berpesan jika membutuhkan pertolongan atau apa saja,
maka sang Gadis di suruh menghentakkan kakinya ke tanah tiga kali, maka saat
itu pula kyai poleng akan datang menolongnya. Sesampainya di Gunung Geger gadis
tersebut duduk di bawah pohon pelasa ( ploso=jawa , suatu pohon berdaun halus
yang saat ini mulai sukar ditemukan kebanyakan orang Madura menjadikan daunnya
untuk pembungkus petis.
Suatu ketika
sang gadis merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya, dia pun menjejakkan
kakinya tiga kali ke tanah dan kyai poleng pun datang. Ternyata sang gadis mau
melahirkan. Akhirnya saat itu pula lahirlah seorang bayi laki-laki yang roman
mukanya amat rupawan. Bayi tersebut diberi nama ”Raden Sagoro ” ( sagoro=laut
). Keluarga inilah yang menurut beberapa pendapat menjadi cikal-bakal penduduk
Madura. Setelah sang bayi lahir Kyai Poleng akhirnya menghilang namun pada
saat-saat tertentu masih mendatangi keluarga tersebut.
Diceritakan
bahwa perahu-perahu para pedagang yang berlayar dari beberapa pulau di
Indonesia, ketika berlayar malam hari sekitar tempat tinggal Raden Segoro,
mereka sering melihat cahaya yang terang benderang seperti cahaya rembulan.
Sehingga merekapun berkata apabila maksud pelayaran mereka terkabul, maka akan
berhenti (berlabuh) di tempat itu ( Geger ) dan akan mengadakan selamatan dan
memberi hadiah kepada yang bercahaya tersebut. Sehingga pada akhirnya tempat
tersebut sering kedatangan para tamu ( pelayar ) yang terkabul maksudnya. Dan
Raden Segoro beserta ibunyalah yang menerima hadiah-hadiah tersebut, karena
disitu hanya tinggal seorang ibu dengan anaknya.
Ketika Raden
Segoro berumur sekitar dua tahun, dia sering bermain ke pantai, hingga suatu
ketika dari arah laut datanglah dua ekor ular naga yang amat besar
mendekatinya. Dengan penuh ketakutan dia berlari kepada ibunya, sambil menangis
dan menceritakan kejadian tersebut. Sang ibupun memanggil Kyai Poleng. Kejadian
tersebut diceritakan kepada Kyai Poleng. Setelah mendengar cerita tersebut Kyai
Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main menuju pantai. Tak lama kemudian
datanglah dari arah laut dua ekor ular raksasa. Kyai poleng menyuruh Raden
Segoro menangkap dua ekor ular tersebut dan membantingnya ke tanah. Akan tetapi
Raden Segoro tidak mematuhinya karena takut. Namun setelah dipaksa Raden Segoro
menangkap dua ular raksasa itu dan membantingnya ke tanah. Seketika itu pula
ular tersebut berubah menjadi dua bilah tombak. Raden Segoro memberikan tombak
tersebut kepada Kyai Poleng, dan oleh kyai poleng dibawa ke Ibu Raden Segoro.
Tombak tersebut diberi nama Kyai(si) Nenggolo, dan kyai (si) Aluquro.
Kyai Poleng memberi tahu bahwa Kyai Aluquro untuk di simpan di dalam rumah dan
Kyai Nenggolo untuk dibawa ketika berperang. Kyai Poleng menceritakan asal–usul
dua senjata pusaka tersebut kepada Raden Segoro dan ibunya.
Dikisahkan oleh
Kyai Poleng pada Raden Segoro bahwa; Pada zaman dahulu di tanah Jawa
kosong(tidak berpenduduk). Ada seorang raja bernama Raja Room yang
mendengar bahwa ada sutau tanah yang mengetahui dari para pengembara bahwa ada
tanah di bagian selatan yang masih kosong, namun subur. Mendengar hal tersebut
Raja Room hal mengutus panglimanya untuk menyelidiki tanah ini. Apabila
tanahnya memang benar makmur, maka ia akan memerintahkan supaya beberapa
keluarga Negeri Room ditempatkan di sana. Setelah diperiksa ternyata tanah Jawa
ini amat makmur. Keadaan ini akhirnya beberapa keluarga dari Negeri Room
ditempatkan di sana. Namun beberapa saat setelah tinggal di tanah Jawa keluarga
tersebut seluruhnya sakit dan mati. Disamping itu diceritakan pula bahwa Pulau
Jawa saat itu menjadi sarang beberapa hantu yang suka makan manusia. Oleh
karenanya Raja Room memerintahkan supaya empat penjuru dari tanah Jawa Supaya
dipasang senjata pada tiap-tiap pojok, yaitu:
- Di bagian selatan ditanam Pedang Suduk,
- Sebelah barat bagian utara ditanam Tombak Kyai Nenggolo,
- Sebelah timur bagian utara ditanam pedang Suduk,
- Sebelah timur bagian selatan ditanam Tombak Kyai Aluquro.
Setelah itu
baru keluarga dari Negeri Room dipindah ke tanah Jawa hidup dan bercocok tanam
di sana.
Diceritakan
pula bahwa ketika Raden Segoro berumur 7 tahun, tempat kediamannya pindah dari
Gunong Geger ke Desa Nepah sekarang diperkirakan berada di Desa Batioh,
Kecamatan Banyuates, Sampang.
Nama Nepa berasal dari nama pohon yaitu pohon Nepa, disebut pula pohon bunyok,
mirip pohon kelapa tetapi tidak sebesar pohon kelapa, daunnya dapat dijadikan
atap rumah, dan daun yang masih muda dapat dijadikan pembungkus rokok. Wilayah
Desa Nepa saat ini termasuk wilayah kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang, dan sekarang termasuk salah
satu tempat rekreasi karena di sana banyak kera.
Pada saat
Kerajaan Medangkamulan diperintah Sang Hyang Tunggal, berkali –kali diserang
musuh yang berasal dari negeri Cina. Akibat peperangan ini rakyat Medangkamulan
hampir habis dibunuh musuh. Dalam keadaan susah dan bingung Raja Sang Hyang
Tunggal memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya diberi pertolongan. Akhirnya pada
suatu malam rajapun bermimpi bertemu dengan seorang tua yang berkata bahwa di
sebuah pulau yang bernama Madu Oro ( Lemah Duro = Madura )
terdapat anak muda bernama Raden Segoro, raja disuruh minta pertolongan kepada
Raden Segoro bila ingin menang perang.
Keesokan
harinya raja memerintahkan patihnya untuk membawa beberapa perahu dan prajurit
untuk meminta pertolongan Raden Segoro. Sesampainya di tanah Madura pada
awalnya prajurit Medang Kamulan ini ingin membawa paksa Raden Segoro ke perahu,
namun disitu terjadi keanehan yaitu para prajurit itu seluruhnya lumpuh tidak
punya daya dan terjadi tiupang angin yang sangat kencang yang ingin
menenggelamkan perahu-perahu itu. Akibat kejadian tersebut akhirnya patih
Kerajaan Medang kamulan minta ampun kepada Raden Segoro dan ibunya. Ibu Raden
Segoro selanjutnya memanggil Kyai Poleng. Kyai Poleng datang dan matur kepada
ibu Raden Segoro supaya Raden Segoro bisa dibawa ke Kerajaan Medangkamulan
untuk membantu peperangan melawan tentara Cina. Raden Segoro pun berangkat bersama
rombongan itu dengan membawa pusaka tombak Kyai Nenggolo. Kyai poleng pun ikut
serta, tetapi tidak menampakkan diri kepada orang lain, selain Raden Segoro.
Sesampainya di
Kerajaan Medang kamulan, rombongan ini terlibat peperangan dengan tentara Cina.
Raden Segoro bertempur luar biasa dengan didampingi Kyai Poleng. Dengan
menunjuk saja tombak Kyai Nenggolo ke arah musuh, musuhpun menjadi sakit secara
mendadak, dan akhirnya berusaha meninggalkan kerajaan Medangkemulan dan
sebagian besar mati. Dengan kemenangan tersebut raja membuat pesta
besar-besaran dan memberi penghormatan kepada Raden Segoro. Raden Segoro juga
diberi gelar ” Tumenggung Gemet ” oleh raja Medang kamulan.
Raja Medang
kamulan berkeinginan untuk menjadikan Raden Segoro sebagai menantu, dan
mengantarkannya diiringi sang patih dan prajurit pilihan. Disertai pula surat
ucapan terima kasih kepada ibu Raden Segoro. Raja bertanya kepada Raden Segoro
tentang siapa nama ayah Raden Segoro, maka Raden Segoro pun menjawab bahwa
masih akan menanyakan hal tersebut kepada ibunya. Sesampainya di Nepah ketika
para prajurit yang mengantarkan telah pulang, Raden Segoro bertanya kepada
ibunya, tentang siapa nama ayahnya. Sang ibu sangat kebingungan harus menjawab
apa, namun sang ibu menjawab bahwa ayahnya seorang siluman. Maka seketika itu
pula ibu, Raden Segoro, dan rumahnya (Keraton Nepa) lenyap (muksa).
Demikian
Riwayat asal mula penduduk tanah Madura. Hikmah dari cerita ini oleh para tetua
di Madura dikesankan bahwa Raden Segoro membalas hutang eyangnya yang
menghinakan ibunya dan membuang ibunya dengan pembalasan yang baik, yaitu
membantu memenangkan peperangan. Selanjutnya diceritakan bahwa raden Segoro
sebagai orang siluman dikemudian hari beristri Nyi Roro Kidul.
Dikisahkan pula
beberapa tahun kemudian senjata Kyai Nenggolo dan Kyai Aluquro oleh Raden
Segoro diberikan kepada Pangeran Demang Palakaran ( Kyai Demong ) dari
desa Plakaran (sekarang desa Plakaran di Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang) yang kemudiaan menjadi Bupati
Arosbaya ( Bangkalan ). Hingga saat ini kedua tombak pusaka tersebut masih
menjadi tombak pusaka Bangkalan. Juga menurut keparcayaan orang tua –tua Kyai
poleng menjadi pembantu Pangeran Demang Palakaran dan keturunnya.
Sejarah
Litografi oleh Auguste van Pers yang menggambarkan seorang pangeran dari Madura dan pelayannya di masa Hindia Belanda
Secara politis,
Madura selama berabad-abad telah menjadi subordinat daerah kekuasaan yang
berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh
kekuasaan kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para
penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di
pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624,
Madura ditaklukkan oleh Mataram. Sesudah
itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan
kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC,
kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada
saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi
Jawa Timur.[1]
Sejarah
mencatat Aria Wiraraja adalah
Adipati Pertama di Madura, diangkat oleh Raja Kertanegara dari Singosari,
tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih Sumenep,
merupakan keraton pertama di Madura. Pengangkatan Aria Wiraraja sebagai Adipati
I Madura pada waktu itu, diduga berlangsung dengan upacara kebesaran kerajaan
Singosari yang dibawa ke Madura. Di Batuputih yang kini menjadi sebuah
Kecamatan kurang lebih 18 Km dari Kota Sumenep, terdapat
peninggalan-peninggalan keraton Batuputih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari Satria.
Geografi dan Adiministrasi
Geografi
Kondisi
geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan
dan semakin kearah utara tidak terjadi perbedaan elevansi ketinggian yang
begitu mencolok. Selain itu juga merupakan dataran tinggi tanpa gunung berapi
dan tanah pertanian lahan kering.Komposisi tanah dan curah hujan yang tidak
sama dilereng-lereng yang tinggi letaknya justru terlalu banyak sedangkan di
lereng-lereng yang rendah malah kekurangan dengan demikian mengakibatkan Madura
kurang memiliki tanah yang subur.
Secara geologis
Madura merupakan kelanjutan bagian utara Jawa, kelanjutan dari pengunungan
kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan lembah solo.
Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih
kasar dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknyapun lebih
bergabung.
Luas
keseluruhan Pulau Madura kurang lebih 5.168 km², atau kurang lebih 10 persen
dari luas daratan Jawa Timur. Adapun panjang daratan kepulauannya dari ujung
barat di Kamal sampai dengan ujung Timur di Kalianget sekitar 180 km dan
lebarnya berkisar 40 km. Pulau ini terbagi dalam empat wilayah kabupaten.
Dengan Luas wilayah untuk kabupaten Bangkalan 1.144, 75 km² terbagi dalam 8
wilayah kecamatan, kabupaten Sampang berluas wilayah 1.321,86 km², terbagi
dalam 12 kecamatan, Kabupaten Pamekasan memiliki luas wilayah 844,19 km², yang
terbagi dalam 13 kecamatan, dan kabupaten Sumenep mempunyai luas wilayah
1.857,530 km², terbagi dalam 27 kecamatan yang tersebar diwilayah daratan dan
kepulauan.
Administrasi
Madura dibagi
menjadi empat kabupaten, yaitu:
|
Kabupaten
|
Ibu
Kota
|
Luas
Area
|
Populasi
2010
|
|
Bangkalan
|
1,260
|
907,255
|
|
|
Sampang
|
1,152
|
876,950
|
|
|
Pamekasan
|
733
|
795,526
|
|
|
Sumenep
|
1,147
|
1,041,915
|
Kota-Kota Eks Karesidenan Madura
Ekonomi
Pertanian
subsisten (skala kecil untuk bertahan hidup) merupakan kegiatan ekonomi utama. Jagung dan singkong merupakan tanaman
budi daya utama dalam pertanian subsisten di Madura, tersebar di banyak lahan
kecil. Ternak sapi juga merupakan bagian penting ekonomi
pertanian di pulau ini dan memberikan pemasukan tambahan bagi keluarga petani
selain penting untuk kegiatan karapan sapi. Perikanan skala kecil juga penting
dalam ekonomi subsisten di sana.
Tanaman budi
daya yang paling komersial di Madura ialah tembakau. Tanah di pulau ini membantu menjadikan
Madura sebagai produsen penting tembakau dan cengkeh bagi industri kretek domestik. Sejak zaman kolonial
Belanda, Madura juga telah menjadi penghasil dan pengekspor utama garam.
Bangkalan yang
terletak di ujung barat Madura telah mengalami industrialisasi sejak tahun
1980-an. Daerah ini mudah dijangkau dari Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, dan
dengan demikian berperan menjadi daerah suburban bagi para penglaju ke Surabaya, dan sebagai lokasi industri
dan layanan yang diperlukan dekat dengan Surabaya. Jembatan Suramadu yang sudah beroperasi sejak 10
Juni
2009,
diharapkan meningkatkan interaksi daerah Bangkalan dengan ekonomi regional.
Sumenep sebagai
daerah wisata juga menyimpan banyak sumber daya alam berupa gas alam yang
dieksplorasi untuk mensuplai kebutuhan gas industri yang tersebar di wilayah
Jawa Timur. Sumur-sumur gas sebagian besar tersebar di daerah lepas pantai
Kepulauan Sumenep.
Kondisi Sosial Masyarakat
Madura termasuk
salah satu daerah miskin di provinsi Jawa Timur[2]. Tidak seperti Pulau Jawa, tanah di Madura kurang cukup subur
untuk dijadikan tempat pertanian. Kesempatan ekonomi lain yang terbatas telah
mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan. Faktor-faktor ini telah
mengakibatkan emigrasi jangka panjang dari Madura sehingga saat ini banyak
masyarakat suku Madura tidak
tinggal di Madura. Penduduk Madura termasuk peserta program transmigrasi terbanyak.
Orang Madura
pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang
tidak baik untuk bertani. Orang Madura juga senang berdagang, terutama besi tua
dan barang-barang bekas lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan
dan buruh,serta beberapa ada yang berhasil menjadi Tekonokrat, Birokrat,
Menteri atau Pangkat tinggi di dunia militer.
Pariwisata
Kerapan Sapi di
Sumenep
Pulau Madura
memiliki sejumlah tempat wisata yang menarik. Salah satu icon wisata Madura
adalah Karapan Sapi. Setiap tahun kerapan sapi
diselenggarakan berjenjang dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, dan tingkat
pembantu wilayah Madura. Selain kerapan sapi ada juga kontes Sapi Sono' yang
diperagakan oleh sapi-sapi betina. Selain itu untuk beberapa di kepulauan
Sumenep ada juga Kerapan Kerbau.
Selain itu
Madura mempunyai tempat wisata peninggalan sejarah yang sebagian besar tersebar
di Kabupaten Sumenep. Objek Wisata Sejarah yang ada di wilayah ini antara
lain : Keraton Sumenep, Masjid Jamik, Asta Tinggi,
Wisata Kota Tua Kalianget,
dsb.
Selain itu
Madura mempunyai pantai yang indah, antara lain, Pantai Lombang, Pantai Slopeng, Pantai Badur, Pantai Talang
Siring, Pantai Camplong, Pantai Rongkang, dan Pantai Siring Kemuning.
Tokoh Madura
- Puteri Bendoro Gung
- Raden Segoro
- Kyai Poleng (Patih Pranggulang)
Tokoh Kerajaan
Madura Barat
- Pangeran Tengah 1592-1621. Saudara dari:
- Pangeran Mas 1621-1624
- Pangeran Praseno / Pangéran Tjokro di Ningrat I 1624-1647. Anak dari Tengah dan Ayah dari:
- Pangeran Tjokro Diningrat II 1647-1707, Panembahan 1705. Ayah dari:
- Raden Temenggong Sosro Diningrat / Pangeran Tjokro Diningrat III 1707-1718. Saudara dari:
- Raden Temenggong Suro Diningrat / Pangeran Tjokro Diningrat IV 1718-1736. Ayah dari:
- Raden Adipati Sejo Adi Ningrat I / Panembahan Tjokro Diningrat V 1736-1769. Kakek dari:
- Raden Adipati Sejo Adiningrat II / Panembahan Adipati Tjokro Diningrat VI 1769-1779
- Panembahan Adipati Tjokro Diningrat VII 1779-1815, Sultan Bangkalan 1808-1815. Anak dari Tjokro di Ningrat V dan Ayah dari:
- Tjokro Diningrat VIII, Sultan Bangkalan 1815-1847. Saudara dari:
- Panembahan Tjokro Diningrat IX, Sultan Bangkalan 1847-1862. Ayah dari:
- Panembahan Tjokro Diningrat X, Sultan Bangkalan 1862-1882.
- Pangeran Trunojoyo, Pahlawan Madura salah seorang keturunan Kerajaan Madura Barat dalam memberontak pemerintahan VOC di Jawa dan Madura
Madura Timur
- Prabu Arya Wiraraja, Adipati Sumenep I pada tahun 1269 dan sebagai salah satu tokoh pendiri Kerajaan Majapahit bersama Raden Wijaya.
- Pangeran Secadiningrat I
- Pangeran Secadiningrat II
- Pangeran Secadiningrat III Adipati Sumenep XIII tahun 1415 - 1460
- Pangeran Secadiningrat IV Adipati Sumenep 1460 - 1502
- Pangeran Secadiningrat V Adipati Sumenep 1502 - 1559
- Raden Tumenenggung Ario Kanduruan Adipati Sumenep 1559 - 1562
- Pangeran Lor dan Pangeran Wetan Adipati Sumenep 1562 - 1567
- Pangeran Keduk I Adipati Sumenep 1567 - 1574
- Pangeran Lor II Adipati Sumenep 1574 - 1589
- Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro I menjadi Adipati Sumenep 1589 - 1626
- Kanjeng R. Tumenggung Ario Anggadipa Adipati Sumenep 1626 - 1644
- Kanjeng R. Tumenggung Ario Jaingpatih Adipati Sumenep 1644 - 1648
- Kanjeng Pangeran Ario Yudonegoro Adipati Sumenep 1648 - 1672
- Kanjeng R. Tumenggung Pulang Jiwa dan Kanjeng Pangeran Seppo Adipati Sumenep 1672 - 1678
- Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro II Adipati Sumenep 1678 - 1709
- Kanjeng R. Tumenggung Wiromenggolo Adipati Sumenep 1709 - 1721
- Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro III Adipati Sumenep 1721 - 1744
- Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro IV Adipati Sumenep 1744 - 1749
- Raden Buka Adipati Sumenep 1749 - 1750
- Kanjeng R. Ayu Rasmana Tirtanegara dan Kanjeng R. Tumenggung Tirtanegara Adipati Sumenep 1750 - 1762
- Kanjeng R. Tumenggung Ario Asirudin / Pangeran Natakusuma I (Panembahan Somala) Sultan Sumenep tahun 1762 - 1811
- Sultan Abdurrahman Paku Nataningrat I (Kanjeng R. Tumenggung Abdurrahaman) Sultan Sumenep 1811 - 1854
- Panembahan Natakusuma II (Kanjeng R. Tumenggung Moh. Saleh Natanegara) menjadi Adipati Sumenep 1854 - 1879
- Kanjeng Pangeran Ario Mangkudiningrat Adipati Sumenep 1879 - 1901
- Kanjeng Pangeran Ario Pratamingkusuma Adipati Sumenep 1901 - 1926
- Kanjeng Pangeran Ario Prabuwinata Adipati Sumenep 1926 - 1929
Lihat pula
Lain-lain
(sumber:
A.M.H.J. Stokvis, Manuel d’histoire, de généalogie et de chronologie de tous
les Etats du globe..., Boekhandel & Antiquariaat B.M. Israël, Leiden
1888-1893, 1966)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar